Non Performing Financing atau NPF, seperti halnya Non Performing Loan /NPL bank konvensional, timbul karena masalah yang terjadi dalam proses persetujuan pembiayaan di internal bank, atau setelah pembiayaan diberikan. Namun, NPF dan NPL terjadi pada sistim yang berbeda. Sistim perbankan syariah memiliki faktor fundamental yang dapat menahan timbulya NPF agar tidak meluas; tetapi, sistim perbankan konvensional memberikan peluang yang lebih besar untuk terjadinya NPL.
Faktor fundamental yang melandasi transaksinya adalah sebagai berikut. Dari sisi aktiva neraca, bank syariah hanya mengenal kata “pembiayaan” sebagai kegiatan utamanya, dan tidak memberi pinjaman uang seperti pada bank konvensional. Pemberian pinjaman uang pada bank syariah bersifat sosial, dan tidak berbunga. Transaksi komersialnya dilaksanakan melalui jual-beli dengan akad murabaha, sewa-menyewa dengan akad ijarah, dan kerja sama menjalankan suatu bentuk usaha/bisnis dengan mudharabah atau musyarakah.
Pembiayaan tidak boleh mengandung riba, bersifat gharar dan maysir. Riba atau bunga, yang ditetapkan di muka terlepas apakah usaha menguntungkan atau merugi, jelas manambah risiko bisnis. Risiko yang lebih besar akan mendorong timbulnya NPL. Sebagai pengganti bunga, bank syariah mengfokuskan diri pada perolehan keuntungan dari transaksi bersama nasabahnya. Keuntungan dari usaha tidak ditetapkan di muka, tetapi tergantung pada realisasi nominal yang sesungguhnya. Pada akad muarabaha, misalnya, bank membelikan barang yang dibutuhkan, dan kemudian menjualnya kembali kepada nasabah dengan tambahan harga sebagai keuntungan bank. Nasabah dapat mengangsur pembeliannya itu kepada bank. Pada akad ijarah, bank menyewakan barang yang dibeli kepada nasabahnya. Pada akad mudharabah, bank sebagai shahibul mal menyediakan modal untuk membiayai usaha yang dijalankan oleh nasabah sebagai mudharib. Pada akad musharakah, bank dan nasabah membiayai dan menjalankan suatu usaha bersama-sama. Pada akad ini, perolehan keuntungan merupakan common interest bagi bank dan nasabah, yang kemudian akan dibagi berdasarkan nisbah yang ditentukan pada awal hendak bekerja sama. Kepentingan bersama ini dapat mendorong transparansi informasi yang lebih terbuka, dan mengurangi timbulnya moral hazard, bagi setiap pihak dalam bertransaksi, sehingga mengurangi risiko bisnis atau risiko pembiayaan/kredit bagi para pihak. Setiap akad tersebut mengandung unsur keadilan, yaitu keuntungan yang dihalalkan dan dibagi adalah yang merupakan kompensasi terhadap risiko usaha yang ditanggung bersama.
Prima kausa dari akad-akad tersebut adalah bukan uang, tetapi barang yang diperjual-belikan pada murabaha , atau barang yang disewakan pada ijarah, atau usaha di sektor riel yang diusahakan bersama pada mudharaba/musharakah. Prima kausa ini merupakan underlying transaction, namun bukan yang dilarang seperti alkohol atau makanan yang diharamkan. Prima kausa seperti itu membuat penggunaan dana bank dapat lebih terkontrol, dan dapat menekan risiko sidestreaming dana bank. Uang bersifat fungiable, atau bagaikan air, dan dapat dialirkan sekehendak debitor, dengan menyimpangi perjanjian kredit bank konvensional. Pada akad bank syariah, barang dan jasa/usaha harus dipastikan sejak awal, dan dana bank mengikuti alur barang dan jasa itu.
Gharar adalah sifat transaksi yang tidak jelas keberadaan atau karakteristik dari prima kausa-nya, seperti ikan di laut, atau memiliki risiko yang tidak perlu, atau salah satu pihak tidak memiliki pengetahuan yang cukup terhadap prima kausa atau transaksi itu; sehingga membuat kedudukan para pihak menjadi tidak seimbang. Maysir adalah sifat transaksi yang untung-untungan, atau bersifat judi. Perjudian sangat dilarang. Pembiayaan dengan prima kausa yang di luar sektor riel, seperti produk derivative, cenderung bersifat maysir; sekaligus menambah risiko menjadi lebih besar. Di tahun 1929-1930, pembiayaan (pembelian) saham yang meluas di Amerika merupakan penyebab utama timbulnya Depresi Besar di Negara itu. Harga saham bersifat fluktuatif dengan turun-naik secara random, atau disebut random walk, sehingga bersifat spekulatif. Tidaklah heran hal tersebut dapat terjadi, karena menurut Keynes, uang memang dapat digunakan untuk berspekulasi, selain untuk bertransaksi dan berjaga-jaga.
Di sisi pasiva neraca bank, dana masyarakat bukan berupa utang, melainkan titipan dengan akad wadiah, atau dana investasi dengan akad mudharabah. Dana masyarakat pada bank konvensional, di lain pihak, bersifat utang. Disini terlihat, bahwa bank syariah tidak mengunakan konsep leverage, yaitu menggunakan utang untuk memperbesar keuntungan; tetapi, menambah risiko bisnis atau kredit. Karena dana investasi selalu berjangka, kemungkinan run on the bank lebih kecil. Di lain pihak, bank dapat mensinkronisasikan risiko dan tingkat keuntungan antara akad mudharabah dengan pemilik dana atau shahibul mal (disini, bank bertindak sebagai mudharib), di sisi pasiva, dengan akad mudharabah dengan nasabah yang diberikan pembiayaan sebagai mudharib (bank sebagai shahibul mal), di sisi aktiva. Sinkronisasi ini dapat mengurangi risiko atau kerawanan bank.
Pada tataran makro, konsep fractional banking pada perbankan konvensional mendorong terciptanya “likuiditas akunting” atau kredit yang lebih besar. Likuiditas atau kredit ini, jika tidak dikontrol penggunaannya, dapat menyebabkan kegagalan bank, atau krisis perbankan/keuangan. Banyak krisis keuangan di dunia dimulai dengan liberalisasi keuangan demi menciptakan likuiditas yang lebih besar, untuk memperbesar pertumbuhan ekonomi; tetapi, kemudian mendorong terjadinya lending boom dan NPL yang besar pula. Pada akhirnya, setiap krisis itu menurunkan pertumbuhan ekonomi, dan menimbulkan pengangguran, utang yang menumpuk, serta beban keuangan yang besar bagi pembayar pajak. Oleh karena itu, dapat dikatakan pertumbuhan dengan memperbesar keran kredit cenderung menciptakan pertumbuhan yang semu.
Uang pada perekonomian Islam hanya sebagai alat perantara, bukan sebagai komoditas dengan harga berbentuk bunga seperti pada perekonomian kapitalistik. Uang pun hanya untuk memenuhi kebutuhan bertransaksi di sektor riel seperti yang wakilkan oleh persamaan Irving Fisher, atau disebut endogeneous money, dan tidak ditambah dengan jumlah kredit (uang). Perekonomian Islam menekankan pada perdagangan, karena Tuhan SAW menghalalkannya. Perdagangan meningkatkan produksi barang dan jasa, yang menciptakan lapangan kerja, dan kesejahteraan bagi umat. Bank syariah menekanan ‘pembiayaan’ prima kausa di atas, sehingga mendukung pertumbuhan sektor riel yang lebih hakiki.
Bank syariah berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadith Nabi SAW, sehingga dapat dikatakan sistim di mana NPF terjadi merupakan turunan dari ciptaan Tuhan SAW, yang tidak ada tandingannya. Namun, bagaimana sistim itu digunakan sangat tergantung pada para pelakunya. Penyebab NPF/NPL dari segi internal bank adalah sama, yaitu berkaitan dengan faktor pengetahuan/keahlian pembiayaan/kredit, profesionalisme dan integritas , dan kadar spiritualitas dari pejabat nya, corporate culture, credit/financing culture yang ada di institusinya, moralitas para pemimpinnya (moral leadership), serta reward & penalty system yang tepat. Dari segi proses, perlu melakukan pengecekan reputasi calon konsumen, due diligence & care, dan pengawasan pembiayaan/kredit internal. Penyebab terjadinya NPF/NPL setelah pembiayaan/kredit diberikan berada pada tataran nasabah, yang berkaitan dengan masalah kejujuran dan kepercayaan, kepiawaian dalam berbisnis, komitmen terhadap bisnis yang dijalani, dan komitment moral untuk menepati janji. Semua ini harus ditelaah sejak awal, baik oleh bank konvensional ataupun bank syariah, dengan menggunakan faktor internal tersebut.
Jika faktor internal itu diterapkan dengan intensitas yang sama di kedua kelompok bank, ceteris paribus, maka dengan sistim perbankan syariah, NPF cenderung terjadi lebih kecil, di bandingkan dengan NPL bank konvensional. Namun, jika faktor-faktor tersebut diterapkan dengan kadar Ketauhidan yang kental (pada bank syariah), NPF akan lebih rendah lagi (hho, 20/11/2011).
Tulisan ini telah diterbitkan pada Majalah Ekonomi Syariah Vol. 11, No. 2, 2012 M / 1433 H.
Faktor fundamental yang melandasi transaksinya adalah sebagai berikut. Dari sisi aktiva neraca, bank syariah hanya mengenal kata “pembiayaan” sebagai kegiatan utamanya, dan tidak memberi pinjaman uang seperti pada bank konvensional. Pemberian pinjaman uang pada bank syariah bersifat sosial, dan tidak berbunga. Transaksi komersialnya dilaksanakan melalui jual-beli dengan akad murabaha, sewa-menyewa dengan akad ijarah, dan kerja sama menjalankan suatu bentuk usaha/bisnis dengan mudharabah atau musyarakah.
Pembiayaan tidak boleh mengandung riba, bersifat gharar dan maysir. Riba atau bunga, yang ditetapkan di muka terlepas apakah usaha menguntungkan atau merugi, jelas manambah risiko bisnis. Risiko yang lebih besar akan mendorong timbulnya NPL. Sebagai pengganti bunga, bank syariah mengfokuskan diri pada perolehan keuntungan dari transaksi bersama nasabahnya. Keuntungan dari usaha tidak ditetapkan di muka, tetapi tergantung pada realisasi nominal yang sesungguhnya. Pada akad muarabaha, misalnya, bank membelikan barang yang dibutuhkan, dan kemudian menjualnya kembali kepada nasabah dengan tambahan harga sebagai keuntungan bank. Nasabah dapat mengangsur pembeliannya itu kepada bank. Pada akad ijarah, bank menyewakan barang yang dibeli kepada nasabahnya. Pada akad mudharabah, bank sebagai shahibul mal menyediakan modal untuk membiayai usaha yang dijalankan oleh nasabah sebagai mudharib. Pada akad musharakah, bank dan nasabah membiayai dan menjalankan suatu usaha bersama-sama. Pada akad ini, perolehan keuntungan merupakan common interest bagi bank dan nasabah, yang kemudian akan dibagi berdasarkan nisbah yang ditentukan pada awal hendak bekerja sama. Kepentingan bersama ini dapat mendorong transparansi informasi yang lebih terbuka, dan mengurangi timbulnya moral hazard, bagi setiap pihak dalam bertransaksi, sehingga mengurangi risiko bisnis atau risiko pembiayaan/kredit bagi para pihak. Setiap akad tersebut mengandung unsur keadilan, yaitu keuntungan yang dihalalkan dan dibagi adalah yang merupakan kompensasi terhadap risiko usaha yang ditanggung bersama.
Prima kausa dari akad-akad tersebut adalah bukan uang, tetapi barang yang diperjual-belikan pada murabaha , atau barang yang disewakan pada ijarah, atau usaha di sektor riel yang diusahakan bersama pada mudharaba/musharakah. Prima kausa ini merupakan underlying transaction, namun bukan yang dilarang seperti alkohol atau makanan yang diharamkan. Prima kausa seperti itu membuat penggunaan dana bank dapat lebih terkontrol, dan dapat menekan risiko sidestreaming dana bank. Uang bersifat fungiable, atau bagaikan air, dan dapat dialirkan sekehendak debitor, dengan menyimpangi perjanjian kredit bank konvensional. Pada akad bank syariah, barang dan jasa/usaha harus dipastikan sejak awal, dan dana bank mengikuti alur barang dan jasa itu.
Gharar adalah sifat transaksi yang tidak jelas keberadaan atau karakteristik dari prima kausa-nya, seperti ikan di laut, atau memiliki risiko yang tidak perlu, atau salah satu pihak tidak memiliki pengetahuan yang cukup terhadap prima kausa atau transaksi itu; sehingga membuat kedudukan para pihak menjadi tidak seimbang. Maysir adalah sifat transaksi yang untung-untungan, atau bersifat judi. Perjudian sangat dilarang. Pembiayaan dengan prima kausa yang di luar sektor riel, seperti produk derivative, cenderung bersifat maysir; sekaligus menambah risiko menjadi lebih besar. Di tahun 1929-1930, pembiayaan (pembelian) saham yang meluas di Amerika merupakan penyebab utama timbulnya Depresi Besar di Negara itu. Harga saham bersifat fluktuatif dengan turun-naik secara random, atau disebut random walk, sehingga bersifat spekulatif. Tidaklah heran hal tersebut dapat terjadi, karena menurut Keynes, uang memang dapat digunakan untuk berspekulasi, selain untuk bertransaksi dan berjaga-jaga.
Di sisi pasiva neraca bank, dana masyarakat bukan berupa utang, melainkan titipan dengan akad wadiah, atau dana investasi dengan akad mudharabah. Dana masyarakat pada bank konvensional, di lain pihak, bersifat utang. Disini terlihat, bahwa bank syariah tidak mengunakan konsep leverage, yaitu menggunakan utang untuk memperbesar keuntungan; tetapi, menambah risiko bisnis atau kredit. Karena dana investasi selalu berjangka, kemungkinan run on the bank lebih kecil. Di lain pihak, bank dapat mensinkronisasikan risiko dan tingkat keuntungan antara akad mudharabah dengan pemilik dana atau shahibul mal (disini, bank bertindak sebagai mudharib), di sisi pasiva, dengan akad mudharabah dengan nasabah yang diberikan pembiayaan sebagai mudharib (bank sebagai shahibul mal), di sisi aktiva. Sinkronisasi ini dapat mengurangi risiko atau kerawanan bank.
Pada tataran makro, konsep fractional banking pada perbankan konvensional mendorong terciptanya “likuiditas akunting” atau kredit yang lebih besar. Likuiditas atau kredit ini, jika tidak dikontrol penggunaannya, dapat menyebabkan kegagalan bank, atau krisis perbankan/keuangan. Banyak krisis keuangan di dunia dimulai dengan liberalisasi keuangan demi menciptakan likuiditas yang lebih besar, untuk memperbesar pertumbuhan ekonomi; tetapi, kemudian mendorong terjadinya lending boom dan NPL yang besar pula. Pada akhirnya, setiap krisis itu menurunkan pertumbuhan ekonomi, dan menimbulkan pengangguran, utang yang menumpuk, serta beban keuangan yang besar bagi pembayar pajak. Oleh karena itu, dapat dikatakan pertumbuhan dengan memperbesar keran kredit cenderung menciptakan pertumbuhan yang semu.
Uang pada perekonomian Islam hanya sebagai alat perantara, bukan sebagai komoditas dengan harga berbentuk bunga seperti pada perekonomian kapitalistik. Uang pun hanya untuk memenuhi kebutuhan bertransaksi di sektor riel seperti yang wakilkan oleh persamaan Irving Fisher, atau disebut endogeneous money, dan tidak ditambah dengan jumlah kredit (uang). Perekonomian Islam menekankan pada perdagangan, karena Tuhan SAW menghalalkannya. Perdagangan meningkatkan produksi barang dan jasa, yang menciptakan lapangan kerja, dan kesejahteraan bagi umat. Bank syariah menekanan ‘pembiayaan’ prima kausa di atas, sehingga mendukung pertumbuhan sektor riel yang lebih hakiki.
Bank syariah berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadith Nabi SAW, sehingga dapat dikatakan sistim di mana NPF terjadi merupakan turunan dari ciptaan Tuhan SAW, yang tidak ada tandingannya. Namun, bagaimana sistim itu digunakan sangat tergantung pada para pelakunya. Penyebab NPF/NPL dari segi internal bank adalah sama, yaitu berkaitan dengan faktor pengetahuan/keahlian pembiayaan/kredit, profesionalisme dan integritas , dan kadar spiritualitas dari pejabat nya, corporate culture, credit/financing culture yang ada di institusinya, moralitas para pemimpinnya (moral leadership), serta reward & penalty system yang tepat. Dari segi proses, perlu melakukan pengecekan reputasi calon konsumen, due diligence & care, dan pengawasan pembiayaan/kredit internal. Penyebab terjadinya NPF/NPL setelah pembiayaan/kredit diberikan berada pada tataran nasabah, yang berkaitan dengan masalah kejujuran dan kepercayaan, kepiawaian dalam berbisnis, komitmen terhadap bisnis yang dijalani, dan komitment moral untuk menepati janji. Semua ini harus ditelaah sejak awal, baik oleh bank konvensional ataupun bank syariah, dengan menggunakan faktor internal tersebut.
Jika faktor internal itu diterapkan dengan intensitas yang sama di kedua kelompok bank, ceteris paribus, maka dengan sistim perbankan syariah, NPF cenderung terjadi lebih kecil, di bandingkan dengan NPL bank konvensional. Namun, jika faktor-faktor tersebut diterapkan dengan kadar Ketauhidan yang kental (pada bank syariah), NPF akan lebih rendah lagi (hho, 20/11/2011).
Tulisan ini telah diterbitkan pada Majalah Ekonomi Syariah Vol. 11, No. 2, 2012 M / 1433 H.
0 komentar:
Posting Komentar