Kamis, 12 September 2013

Posted by macippa On 18.53

TIDAK dapat dipungkiri pembiayaan bermasalah (non performing financing/ NPF) perbankan syariah jauh lebih kecil dari kredit bermasalah di per­bankan konvensional.


Presdir KARIM Business Consulting
"NPF perbankan
syariah memerlukan
perhatian khusus
agar tidak terus
memburuk mendekati
NPL perbankan
konvensional."
Data Bank Indonesia (BI) secara jelas menunjukkan perbedaan sig­nifikan, bahkan selama hampir satu setengah dekade NPF perbankan syariah hanya separuh NPL (non performing loan) di perbankan kon­vensional.
Kalaupun ada pergerakan naik NPF secara signifikan, itu terjadi pada akhir semester II2005. Ketika itu, NPF perbankan syariah naik dari kisaran 2% menjadi 3,8%, atau hampir dua kali lipat.
Hal ini menimbulkan kegusaran meskipun bila dibandingkan NPL perbankan konvensional, NPF itu jauh lebih kecil. Kegusaran ini mendorong praktisi perbankan syariah mendesak Dewan Syariah Nasional (DSN) mengeluarkan fatwa tentang rescheduling, reconditioning, asset settlement, dan konversi akad.
Dengan berbekal fatwa tersebut, perbankan syariah mulai berbenah diri dengan melakukan proses restrukturisasi terhadap pembiayaan bermasalah.
Hasilnya dapat terlihat pada akhir Desember 2005. Menggabungkan fatwa sebagai panduan untuk menyelamatkan pembiayaan bermasalah dan tangan dingin bankir syariah, NPF turun drastis ha­nya dalam waktu tiga bulan.
Jika pada Oktober 2005 NPF mencapai level tertinggi, pada akhir Desember 2005 turun kembali pada kisaran 2,5%-2,8%.
Pada kuartal 12006, NPF perban­kan syariah kembali naik walau ti­dak setinggi posisi Oktober 2005. Kenaikan NPF di awal tahun lazim bagi pembiayaan yang baru selesai direstrukturisasi.
Pertama, di awal tahun, perban­kan belum melakukan ekspansi pembiayaan padahal outstandingpembiayaan semakin menurun de­ngan adanya cicilan selama Januari, Februari, dan Maret. Dengan demikian, total pembiayaan mengalami penurunan, yang berarti pembilang dalam rasio NPF semakin mengecil.
Dengan nilai pembiayaan berma­salah yang sama saja sebagai penyebut dan nilai pembiayaan yang semakin mengecil sebagai penyebut, posisi NPF akan membesar.
Kedua, semua rekening yang telah berhasil direstrukturisasi di akhir 2005 bisa jadi mengalami kesulitan kembali mengingat tinggi-nya tingkat suku bunga BI rate dan bunga penjaminan.
Secara langsung memang tidak ada kaitan dengan perbankan sya­riah, namun secara tidak langsung kaitan itu terasa signifikan. Debitur perbankan syariah kebanyakan memperoleh pula kredit dari per­bankan konvensional.
Tingginya bunga kredit pada le­vel hampir sama dengan bunga pa­da akhir 2005 jelas menguras kemampuan debitur. Akibatnya, ke-mampuan membayar cicilan pembiayaan praktis terganggu. Dengan kata lain, nilai pembiayaan bermasalah yang pada akhir 2005 telah berhasil direstrukturisasi, kini kem­bali memburuk.
Bila pada skenario nilai pembia­yaan bermasalah tetap saja, posisi NPF akan membesar. Apalagi bila pada skenario nilai pembiayaan bermasalah meningkat, tentunya NPF meningkat.
Ketiga, secara organisasi belum terdapat perubahan signifikan dalam pendistribusian wewenang un­tuk memonitor kinerja setiap ca­bang bank syariah, terutama pada bank-bank yang mempunyai jaringan cabang di seluruh Indonesia.
Perhatian khusus
Dengan luasnya cakupan monito­ring, biasanya bank memiliki kan­tor wilayah untuk membantu pro­ses supervisi semua cabang. Dalam hal cabang syariah, kantor wilayah belum dilengkapi dengan keahlian syariah memadai sehingga peran kantor wilayah untuk mensupervisi cabang syariah praktis dilakukan oleh kantor pusat.
Luasnya jangkauan supervisi ini tentu dapat membuka celah kesempatan bagi cabang syariah untuk kurang memerhatikan praktik pru­dential banking.
Bila dilihat dari ketiga aspek ter­sebut, kenaikan NPF perbankan syariah memerlukan perhatian khusus agar tidak terus memburuk mendekati NPL perbankan kon­vensional. Yang menarik adalah, ni­lai pembiayaan bermasalah yang timbul di perbankan syariah tidak identik dengan kategorisasi pem­biayaan korporasi atau pembiayaan ritel.
Kita tidak dapat secara apriori mengatakan.bahwa memburuknya NPF perbankan syariah akibat sektor korporasi atau akibat sektor ri­tel. Karena keduanya mengalami kenaikan pembiayaan bermasalah.
Sektor korporasi selalu menjadi momok karena nilainya yang besar akan langsung memengaruhi tren NPF secara keseluruhan. Sektor ri­tel memang jumlahnya kecil-kecil sehingga secara logika tidak signi­fikan memengaruhi NPF. Kenyataannya, sektor ritel juga member^ kan kepada kelompok individu dalam satu kategori industri yang sama.
Ambil contoh industri angkutan umum. Pertama, industri ini telah mengalami perubahan radikal yakni harga tiket pesawat menjadi sa-ngat murah.
Pengusaha bus antarkota yang menerima pembiayaan tentu sangat terpukul oleh perubahan ini. Orang lebih memilih naik pesawat ketimbang harus berlama-lama naik bus antarkota.
Kedua, pembiayaan yang diberikan kepada pengusaha angkot sering kali ditentukan oleh keluarnya izin trayek ketimbang permintaan riil jasa angkutan perkotaan.
Keadaan ini mendorong tersedianya angkot yang melebihi kebutuhan riil. Kelebihan suplai angkot ini tentu menurunkan pendapatan pengusaha yang pada gilirannya menurunkan kemampuan mereka untuk memenuhi kewajiban kepa­da perbankan syariah. (S-3)