Selasa, 16 Juli 2013

Posted by macippa On 19.06
Industri perbankan syariah kini memasuki era baru. UU Perbankan Syariah (UU PS) yang memuat 70 pasal, resmi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada 17 Juni 2008 dan ditandatangani oleh pemerintah sekitar pertengahan Juli. Dukungan regulasi ini dicandera (baca: diprediksi) akan memberi dampak positif bagi perbankan syariah nasional. Perkembangan pesat perbankan syariah selama ini tidak bisa dilepaskan dari dukungan regulasi. Kehadiran bank syariah pertama pada 1992, Bank Muamalat, terjadi berkat dukungan UU No. 7/1992. Perkembangan perbankan syariah secara pesat sejak 1999 juga merupakan hasil dari dukungan regulasi yang memadai yaitu UU No. 10/1998 dan UU No. 23/1999 yang kemudian diperkuat oleh UU No. 3/2004.

Bagaimanakah fakta empiris yang terjadi pada industri perbankan syariah pasca terbitnya Undang-Undang No 21 ini? Memang ada pandangan optimis dan pesimis. Namun itu secara mutlak terjawab oleh fakta. Faktanya jika melihat indikator perkembangan aset perbankan syariah, misalnya, memang terjadi kenaikan aset month to month. Rata-rata kenaikan adalah 0,04 hingga 0,05% per bulan. Jika diasumsikan kenaikan tersebut adalah konstan dan tidak terjadi akselerasi yang signifikan, maka hasil simulasi menunjukkan bahwa bank syariah butuh waktu sekitar 2000 bulan lagi untuk mencapai 100% share perbankan syariah Indonesia (100/0,05) atau setara dengan lebih kurang 144 tahun. Sebuah masa yang masih amat panjang dan berliku. Belum lagi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang kemudian menghambat perkembangan perbankan syariah. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh stakeholder dan kalangan perbankan syariah Indonesia di masa mendatang.


Murabahah 59 Persen
Masalah dominasi pembiayaan nonbagi hasil harus mendapat perhatian yang serius karena masalah ini akan mendatangkan reputation risk sebagai akibat label syariah yang menempel pada lembaga keuangan ini. Masalah ini memang bukanlah masalah yang sifatnya esensial (ushul), namun sifatnya cabang (furu’), karena pembiayaan bagi hasil dan nonbagi hasil sama-sama diperbolehkan secara syariah. Akan tetapi sebagian pakar berpendapat bahwa pembiayaan nonbagi hasil, khususnya murabahah, merupakan bentuk pembiayaan sekunder yang mestinya dipergunakan sementara saja pada masa awal pertumbuhan sebelum bisa menggunakan pembiayaan bagi hasil. Selain itu, pandangan mainstream berpendapat bahwa bentuk pembiayaan bagi hasillah yang menceminkan the real islamic bank. Faktanya, hingga sekitar Bulan September 2008 ini, data menunjukkan bahwa pembiayaan murabahah masih mendominasi yakni sekitar 59 persen. Bandingkan dengan pembiayaan bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) yang hanya berangka 36 persen yang semestinya menjadi nature perbankan syariah Indonesia, bank bagi hasil.

Bunga Syariah
SBI Syariah telah diterbitkan pada akhir triwulan I 2008 atau pada Bulan April lalu. Ini merupakan salah satu instrumen likuiditas yang dimiliki perbankan syariah Indonesia. Sebagian pihak –khususnya kalangan praktisi industri perbankan akan berucap syukur atas lahirnya ketentuan baru ini. Namun sesungguhnya adanya SBI Syariah merupakan awal ketidakmampuan bank syariah dalam menyalurkan pembiayaan. Tidak ada alasan yang tepat dikeluarkannya SBI Syariah, sebab dengan adanya SBI Syariah akan mengurangi citra bank syariah yang selama ini konsen dalam pembiayaan ke sektor riil. Selama ini apa yang dilakukan oleh bank syariah sudah tepat di mana dalam menyalurkan pembiayaan (FDR) bank syariah sudah mencapai 100 persen lebih. Jika yang dipermasalahkan adalah resiko manajemen dalam pembiayaan ketika terjadi kredit macet (NPF) yang menjadi solusi bukan harus diterbitkannya SBI Syariah, akan tetapi sejauhmana bank syariah mau membenahi masalah marketing dan remidial. Meskipun memang ada ketentuan yang harus dimiliki oleh bank syariah yang menaruh dananya di SBI Syariah yaitu harus memiliki FDR sebesar 80%. Jangan-jangan penyakit “playing safe” bank konvensional juga ikut menular kepada para eksekutor di industri perbankan syariah.

Kita pahami secara gamblang bahwa salah satu perbedaan mendasar antara moneter syariah dan konvensional adalah terletak pada penggunaan instrumen moneternya yakni yang pertama dengan fasilitas bunga yang direpresentasi dengan SBI dan yang lainnya adalah bagi hasil. Dalam instrumen yang dipakai perbankan syariah dikenal dengan SWBI atau Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. Ini semacam SBI-nya bank syariah. Dengan SWBI yang rendah, maka perbankan syariah cenderung enggan menyimpan dalam bentuk fasilitas tersebut. Sehingga dampak positifnya, dana yang ada akan lebih dipilih untuk dilemparkan ke sektor rill yang membutuhkan. Tidak seperti perilaku bank konvensional yang akan dengan enaknya menerima ‘bonus’ sekitar 8 hingga 9 persen per tahun dengan hanya ongkang kaki sekalipun. Efek buruknya tentu saja dana tidak mengalir ke para debitur kecil. Namun setelah SBI Syariah lahir, maka hampir tidak ada bedanya antara perbankan “hijau” dan ‘hitam’. Keduanya sama-sama tidak pro sektor riil. Bank syariah kemudian tidak punya ‘genuine’ dan cenderung hanya ‘mirroring’ belaka. Menurut penulis, hal ini adalah indikasi kurang baik dari sustainabilitas perbankan syariah Indonesia. Sehingga patut dipertanyakan, apakah hal ini adalah bentuk kekhawatiran bank konvensional ataukah malah kemanjaan bank syariah saja, yang seolah-olah sudah letih melempar dana ke masyarakat dan ingin ikut-ikut duduk di kursi empuk sambil menunggu duit turun dari langit?

Ada beberapa implikasi negatif yang akan timbul. Pertama tentu saja FDR atau rasio dana yang diberikan kepada masyarakat yang tunamodal akan semakin turun dan susut, meski tidak akan secara langsung. Hal ini sangat dapat dipahami karena dengan iming-iming bonus (skim jualah) yang tinggi –sekitar 9 persen yang sama dengan nilai SBI- industri perbankan syariah seperti dihadapkan dengan hidangan yang super lezat tatkala sedang berpuasa. Tentu saja, yang keimanannya lemah akan dengan serta-merta melahap santapan di depannya tanpa perlu memikirkan ulang apakah hal itu baik baginya atau tidak. Dampak lain yang tidak kalah bahaya dan memiliki time lag yang cukup panjang adalah bank syariah bisa jadi akan kehilangan identitasnya. Nature atau genuinenya sudah sirna termakan pragmatisme. Atau mungkin juga ini adalah ‘trap’ yang dengan sengaja dipasang oleh pihak yang tidak senang dengan perkembangan alamiah bank syariah yang bombastis, dan sayangnya kita terperangkap dan terkena jeratnya. Semestinya yang lebih layak untuk dipikirkan untuk dijadikan solusi bukan SBI, akan tapi instrumen likuiditas lain seperti sukuk atau yang lainnya.

Kapitalisme Religius
Secara garis besar ada tiga pilar sistem moneter yang membedakan satu dengan lainnya, yaitu sistem uang, sistem perbankan, dan sistem operasi keuangannya. Dalam sistem keuangan ganda yang ada saat ini, hanya konsep bagi hasil saja yang menjadi pembeda antara sistem moneter konvensional dan sistem moneter Islam. Sistem moneter Islam dalam sistem keuangan ganda masih menggunakan uang fiat konvensional dan masih menerapkan fractional reserve banking system. Artinya, jika diibaratkan maka ke-Islaman bank syariah yang saat ini menjadi topik yang kita perbincangkan hanyalah sepertiga atau kira-kira sekitar 30-an persen dari 100% idealnya. Ditambah lagi dengan porsi bagi hasil yang juga terbilang rendah. Sehingga jika dikalkulasi akan menjadi hanya 20% saja bagian murni Islam dan 80% lainnya adalah masih dalam keadaan kafir (baca: belum mencapai ideal Islam). Sehingga pantas apabila tidak sedikit pakar ekonomi Islam yang juga mengharamkan bank Islam. Diantaranya adalah sebagian mazhab pemikiran alternatif-kritis.

Pro Rakyat Kecil?
Jika ada pertanyaan apakah bank syariah pro rakyat kecil, maka jawabannya adalah bahwa pada praktiknya saat ini bisa ya namun bisa juga tidak. Sektor pertanian, yang saat ini dapat menjadi penyumbang pertumbuhan PDB terbesar, bukan hanya mengalami penurunan pangsa pada pembiayaan syariah, tetapi juga mengalami penurunan outstanding dari tahun ke tahun dibandingkan tahun 2004. Sektor pertanian hanya berpangsa 2,54% dari total pembiayaan yang diberikan perbankan syariah pada triwulan III-2007. Padahal pada 2004, sektor pertanian, sempat mendapatkan 7,59% dari pangsa pembiayaan Syariah. Barulah pada akhir 2007, porsi pembiayaan syariah untuk pertanian kembali menunjukkan tren positif yang ditandai kenaikan, baik outstanding maupun sharenya.

Sementara itu, di sisi perbankan konvensional masih lebih baik dari perbankan syariah dari hal penyaluran kredit ke sektor pertanian. Outstanding kredit yang diberikan perbankan komersial nasional dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Pada tahun 2002 yang hanya tercatat Rp 22,7 triliyun naik menjadi Rp 33,1 triliyun pada 2004, dan mencapai Rp 56,9 triliyun pada akhir 2007. Meskipun demikian, porsi persentase kredit sektor pertanian dari keseluruhan kredit yang dikucurkan perbankan nasional masih berada pada kisaran 5 hingga 6 persen setiap tahunnya.

Selain itu, inti bagian ini juga ingin menjelaskan bahwa pada fakta empiris di lapangan, ternyata bank syariah masih ‘pelit’ kepada para petani yang notabene adalah kaum lemah pedesaan yang mayoritas. Sektor pertanian yang adalah penyumbang PDB yang cukup besar, penyerap tenaga kerja yang baik dan menjadi sumber produksi dan ketahanan pangan Indonesia ternyata masih ‘unbankable’ bagi perbankan khususnya bank syariah. Dan oleh karenanya, patutlah kita pertanyakan kembali: patutkah jargon bank syariah yang pro-poor dan pro sektor riil itu? Nampaknya, masih sangat banyak tugas rumah kita.

Social Multiplier Effect
Masukan lain yang layak dilayangkan kepada entitas ekonomi Islam dan para penggiatnya, terutama industri perbankan syariah Indonesia adalah sudahkah industri keuangan syariah dari mulai bank, asuransi, pasar modal, dan industri keuangan lain mampu dan lihai dalam ’memberantas’ kemiskinan dan pengangguran? Apakah perkembangan dan booming ekonomi syariah berkorelasi positif dengan pemusnahan ketimpangan sosial pada masyarakat? Data yang ada memaparkan dengan baik kepada kita bahwa ternyata angka kemiskinan dan pengangguran tetap saja tinggi bahkan naik. Semestinya rumus yang berlaku adalah setiap kenaikan share 0,1% perbankan syariah, misalnya, mampu mengurangi angka kemiskinan sebesar sekian juta atau sekian persen dari yang ada. Namun lagi-lagi, sayangnya hal itu hanyalah keinginan belaka. Angka kemiskinan masih tetap tinggi yakni sekitar 39 juta jiwa. Begitu juga pengangguran yang tidak kurang dari 12 juta jiwa.

Benang merah yang disampaikan dalam bagian ini adalah, selayaknya ekonomi Islam di Indonesia mampu menjawab dengan benar tantangan yang diberikan oleh perekonomian modern: ketimpangan sosial. Bank syariah kemudian dapat memberi efek multiplier sosial yang positif, dan bukan malah ikut menyumbang masalah. Jika saat ini ternyata hasilnya belum mencapai yang ideal, seyogianya kita mengevaluasi diri dan menghisab pribadi, adakah jalan yang ditempuh dan instrumen yang digunakan salah? Perbankan syariah Indonesia harus secara cermat mengenal diri untuk kemudian melakukan koreksi andai ada hal yang tidak sesuai dengan yang digariskan syariat.

Kesimpulan
Perkembangan industri perbankan syariah Indonesia ternyata sangat tergantung pada ada tidaknya dukungan dan political will dari pihak penguasa. Regulasi menjadi sesuatu yang niscaya. Undang-undang tahun 1992 dan 1998 menjadi bukti bahwa setelah kedua UU itu keluar, perkembangan yang pesat pada industri perbankan terjadi. Itu pula yang diharapkan dari terbitnya UU No. 21 tahun 2008 ini. Dengan dukungan dan kekuatan hukum yang jelas dan mendukung, diharapkan akan menjadi daya ‘push’ yang kuat bagi akselerasi perkembangan industri keuangan syariah.

Jika mencermati isi yang tersurat dalam UU, kita patut berdecak optimis. Pasal-pasal yang disepakati sudah ‘on the track’ dan benar. Meskipun ada sebagian kecil yang masih kurang ideal. Implikasi yang kemudian akan terjadi diprediksi positif akan mampu mengakselerasi secara cepat perkembangan perbankan syariah. Namun meskipun demikian, dampak jangka pendek masih tidak terlalu signifikan terasa. Pertumbuhan share masih berkisar 0,05% tiap bulan. Masih sangat kecil dari yang diharapkan. Target 5 persen pada akhir 2008 pun rasanya akan sangat sulit tercapai kecuali menunggu mukjizat di akhir tahun dengan misalnya pendirian bank umum syariah baru.

Dalam perkembangannya hingga kini, industri perbankan syariah di Indonesia masih terlalu bersifat pragmatis dibanding memilih untuk berdiri pada “ashoolah” (karakter asli) yang dimilikinya. Perbankan syariah Indonesia seiring berjalannya waktu, menjadi kian ‘liberal’ dari yang sebelumnya. Hampir mirip dengan yang terjadi di Malaysia. Misalnya dapat dilihat dari penggunaan instrumen dan produk yang ‘dipaksakan’, seperti: SBI Syariah untuk instrumen likuiditas, produk kartu kredit, atau produk lainnya. Jika diluar term perbankan, di sana ada pula pasar modal/uang syariah yang juga terlalu ‘ikut pasar’ dan kurang pas dengan nature Islam.

Di sisi lain yang juga cukup penting, ternyata eksistensi ekonomi dan keuangan syariah sampai saat ini, kurang begitu memiliki dampak signifikan terhadap penyelesaian masalah ketimpangan sosial termasuk pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran. Share perbankan syariah yang kian bertambah tidak diiringi dengan pengurangan jumlah orang miskin dan menganggur di Indonesia. Hal ini tentunya menjadi pertanyaan besar bagi siapa saja yang mendeklarasikan diri menjadi pengusung ekonomi berbasis keadilan ini.

Selain itu, ada beberapa rekomendasi yang penulis berikan dalam rangka pengembangan bank syariah yang alamiah ke depan. Terutama pasca keluarnya UU 21 tahun 2008 ini, yakni:
Pertama, meski UU sudah ada pada posisinya yang benar, bukan berarti bank syariah sudah pada letaknya yang ideal pula. Beberapa fakta yang terjadi, masih ada hal-hal yang harus diperbaiki dan diamati ulang, umpamanya: masalah porsi pembiayaan yang terlalu kental dengan nonbagi hasil, penggunaan instrumen likuiditas SBI Syariah, kartu kredit syariah, dan lain sebagainya. Perlu kiranya kajian yang lebih mendalam yang bersifat empiris kuantitatif umpamanya, tentang dampak yang ditimbulkan instrumen-instrumen tersebut.

Kedua, purifikasi terhadap pelaksanaan praktek perbankan syariah merupakan agenda utama yang harus terus mendapat perhatian, karena dengan adanya proses purifikasi ini perbankan syariah diarahkan untuk terus memperbaiki praktek-prakteknya untuk meningkatkan kemurniannya terhadap prinsip-prinsip syariah yang harus dipegang teguh (syaria compliance). Tidak kemudian malah hanya ‘mirroring’ dan tidak memunculkan karakteristik genuinenya. Hanya dengan alasan hendak mencapai target pangsa pasar tertentu kemudian meninggalkan orisinalitas yang dimilikinya.

Last but not least, hendaknya perbankan syariah tidak menggunakan ‘segala macam cara’ dalam mencapai tujuan. Perbankan syariah juga harus sudah mulai memikirkan cara bagaimana menjadi solusi atas ketidakberdayaan masyarakat kecil. Sehingga benar-benar menjadi bank yang ‘santun’, tidak kehilangan sisi sosial dan juga berprofit tinggi. Green Banking.

SUMBER

0 komentar: